RUU Perampasan Aset Tindak Pidana demi Prioritas Pengembalian Kerugian Negara

Illustrasi koruptor (pic: sketsaunmul.co)


Pemerintah dan DPR didesak melakukan pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana



Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, total kerugian negara akibat tindak pidana korupsi selama 2020 mencapai Rp 56,7 triliun, dan kerugian atas kasus suap sebesar Rp 322 miliar, namun pidana pengganti yang dijatuhkan kepada para terpidana korupsi hanya sebesar Rp 19,6 triliun, dengan total nilai denda sebesar Rp 156 miliar.


Penggunaan hukuman badan atau kurungan penjara pada para koruptor juga terbilang rendah, dari 1.298 terdakwa kasus korupsi di tahun 2020, rata-rata vonis yang diberikan majelis hakim hanya 3 tahun dan 1 bulan.


Bahkan secara terang-terangan peneliti ICW Kurnia Ramadhana menyatakan pihaknya sudah tidak memercayai komitmen pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi.



RUU Perampasan Aset Tindak Pidana belum masuk Prolegnas


Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae saat rapat dengar pendapat dengan Komisi III beberapa waktu lalu sangat berharap  RUU Perampasan Aset Tindak Pidana masuk daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas).


RUU Perampasan Aset Tindak Pidana bukan hanya menjadi jalan baru untuk mendukung upaya pencegahan dan penguatan pemberantasan korupsi, tapi juga menindak semua kejahatan ekonomi, seperti narkoba, penipuan, kejahatan perbankan, kejahatan dalam pasar modal, hingga penebangan hutan ilegal.


RUU tersebut juga memungkinkan aset yang didapatkan masyarakat dari hasil kejahatan dapat dirampas oleh negara tanpa mekanisme pemidanaan pelaku.



Kegagalan negara mengembalikan aset


Selama ini paradigma hukum dalam menangani kejahatan ekonomi masih kepada pendekatan aspek pidana dengan menghukum orangnya, bukan pada prioritas pengembalian aset negara, sehingga selalu gagal dalam mengembalikan kerugian negara dengan berbagai sistem yang dimiliki.


Ccontoh gagalnya sistem itu terlihat ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggunakan kewenangannya untuk menghentikan penyidikan kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim.


Karena itulah pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar dalam diskusi daring Ruang Anak Muda bertajuk "Menakar Urgensitas RUU Perampasan Aset" Selasa (20/4/2021) mendesak pemerintah dan DPR melakukan pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana.


Adanya kasus BLBI, Jiwasraya dan Asabri, menunjukkan betapa urgensinya RUU Perampasan Aset untuk mengambil alih aset negara dari hasil tindak pidana.








Sumber: kompas.com






Comments